BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Membicarakan kaum wanita dan
kedudukannya dalam kehidupan sosial tentulah menarik. Apalagi dalam masyarakat
yang secara umum bersifat patrilineal (memuliakan kaum lelaki dalam semua aspek
kehidupan). Diketahui bahwa wanita adalah bagian dari eksistesi komunitas
basyari (insan). Kaitannya dengan kaum maskulin, dia adalah sebagai ibu,
saudari, istri, bibi. Kehidupan masyarakat tidak akan ada tanpa perempuan
dan laki-laki, memikul beban kebangkitan
bersama sesuai dengan fitrah yang telah Allah SWT ciptakan dengan bimbingan
petunjuk samawi Pada masa jahiliyah yang beragam, kondisi kaum hawa ini sangat
terpojokkan , hak-haknya dirampas,dan pandangan terhadapnya sangat
mendiskreditkan, hingga datang Islam membebaskannya dari kezaliman Jahiliyah,
mengembalikan dan memuliakannya sebagai insan, anak, istri, ibu dan anggota
masyarakat.
Dan dalam masyarakat modern hal
tersebut biasa disebut dengan istilah “emansipasi”. Dan di Barat hal ini
dikenal dengan istilah “feminisme”. Namun dalam pelaksanaannya, bentuk
pemuliaan terhadap perempuan yang terjadi di dunia Barat dan di dunia Islam
sangat jauh berbeda.
1.2
Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini akan membahas
tentang feminisme, yaitu sebagai berikut :
2.1 Bagaimana
nasib perempuan pra islam ?
2.2 Bagaimana konsep islam tentang
perempuan ?
2.3 Bagaimana sejarah dan ragam feminisme ?
2.4 Bagaimana pandangan
islam dalam feminisme ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Nasib Perempuan Pra
Islam
Sejarah
menginformasikan bahwa sebelum datangnya islam terdapat sekian banyak peradaban
besar, seperti: yunani, romawi, india, dan china.Dunia juga mengenal
agama-agama ,seperti:yahudi, nasrani, buddha, zoroaster,dan sebagainya.Berikut
ini dijelaskan secara singkat kondisi perempuan di peredaban dan agama-agama
tersebut sebagai perbandingan dengan perlakuan islam terhadap perempuan.
Peradaban pra islam
sebagai beriikut:
a. Yunani
· Dikalangan
elit, para perempuan di tempatkan(di sekap) dalam istana-istana.
· Dikalangan
bawah, nasib mereka sangat menyedihkan.Mereka di perjual belikan.
· Dikalangan
rumah tangga, sepenuhnya mereka berada di bawah kekuasaan suaminya dan tidak
memiliki hak-hak sipil bahkan hak warispun tidak ada.
b. Romawi
· Sebelum
menikah, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya.
· Setelah
menikah, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami.
Kekuasaan ini mencakup kewenangan
menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh.Keadaan tersebut belangsung terus
sampai abad ke-6 Masehi.
c. Hindia
Perempuan pada masarakat hindu ketika
itu sering di jadkan sesaji bagi para dewa
d. China
Dalam petuah china kuno di ajarkan, “Anda
boleh mendengar pembicaraan wanita, tetapi sama sekali jangan mempercayai
kebenaannya” (Shibab,1998:296-297).
Ajaran
agama pra islam:
a. Ajaran
Yahudi
Dalam ajaran yahudi mertabat perempuan
sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuannya, kalau ia tidak
mempunyai saudara laki-laki.Mereka mengangap prempuan sebagai sumber laknat,
karena dia-lah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Apabila seorang
perempuan sedang mengalami haid, mereka tidak boleh memegang bejana apapun,
karana khawair tersebarnya najis. Bahkan sebagian besar dari mereka diasingkan
hingga selesai haidnya.
b. Ajaran
Nasrani
Dalam pandangan pemuka Nasrani ditemukan
bahwa perempuan adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia (al-Barik,
2003:6-7).
Di
semenanjung Arabia sebelum datangnya islam,terdapat kebudayaan yang disebut
jahiliyah.Di zaman ini perempuan di pandang sangat rendah.Seorang bapak merasa
malu bila isrinya melahirkan bayi perempuan sehingga dikalangan mereka terdapat
kebiasaan mengubur bayi perempuan.Perempuan dianggap sebagai benda yang
dimiliki laki-laki, di pertaruhkan dalam sebuah perjudian, di pandang sesuatu
yang dapat diwariskan. Disisi lain, laki-laki dapat menceraikan isterinya
berkali-kali dan kembali padanya sesuai kemauannya dan berhak memiliki isteri
sebanyak yang ia inginkan tanpa batas.
2.2
Konsep
Islam Tentang Perempuan
1. Pemuliaan islam
terhadap perempuan
Islam
memandang perempuan sebagai makhluk mulia dan terhormat, yang memiliki hak dan
kewajiban. Dlam islam, haram hukumnya memnganiaya dan memperbudak
perempuan(al-Barik,2003:11). Islam adalah agama pertama yang menempatkan
perempuan sebagai makhluk yang tidak berbeda dengan laki-laki dalam hakikat
kemanusiannya. Meskipun begitu, dalam beberapa hal prinsipil, terdapat
perbedaan antara perempuan dengan laki-laki. Perbedaan ini bukan untuk
merendahkan satu sama lain, melainkan untuk saling melengkapi sebab Alah SWT
menciptakan mereka saling berpasangan (Q.S.Yasin:36).
a) Kesamaan
Kedudukan Perempuan dengan Laki-laki
Kesamaan perempuan dengan laki-laki,
antara lain dalam hal bahwa kedua-duanya adalah manusia beserta segala
potensinya. Sebagai makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk yang sempurna,
manusia baik laki-laki maupun perempuan memilki potensi menjadi khalifah
Allah(Q.S. al-Baqarah:30) dengan tugas memakmurkan bumi.
Kesamaan lain antara perempuan dan
laki-laki adalah dalam menerima beban taklif
(melaksanakan hukum) dan balasannya kelak di akhirat. Q.S al-Mu’min:40
menyebutkan bahwa siapa saja laki-laki dan perempuan yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, maka akan memperoleh surga. Seruan Allah kepada
keduanya sebagai hamba Allah juga sama.
Ajaran islam melarang untuk menyakiti
dan mengganggu orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, dan mengancam
pelanggarnya dengan siksa yang pedih. Hal ini di kemukakan dalam Q.S.
al-Buruj:10 yang berbunyi:
“Sesungguhnya
orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki
dan perempuan, kemudian mereka tidak bertaubat,maka bagi mereka azab jahanam,
dan bagi mereka azab (neraka)yang membakar”(Q.S. al-Buruj:10).
Dalam sebuah hadis,
Rasulullah menyebutkan bahwa,”Surga itu
terletak di bawah telapak kaki ibu”.
b) Perbedaan
Perempuan dengan Laki-laki
Letak perbedaan perempuan dan
laki-laki menurut K.H. Ali Yafie, sebagian besar menyangkut dua hal, yaitu
perbedaan biologis dan fungsional dalam kehidupan sosial. Perbedan biologis bersifat
alamiah, seperti halnya binatang ada jantan dan betina. Dalam kaitannya dengan
proses reproduksi, fungsi perempuan dan laki-laki berbeda, tidak mungkim sama.
Laki-laki adalah pemberi bibit, sedangkan perempuan berfungsi menampung dan
mengembangkan bibit tersebut dalam rahimnya sehingga mengandung dan melahirkan.
Dengan adanya perbedaan fungsional ini, muncul kewajiban yang berbeda pula,
baik berkenaan dengan fungsi, kedudukan maupun posisi masing-masing dalam
masyarakat (Munir (ed.), 1999:67-68).
· Dalam
Hal Aurat
Islam mewajibkan perempuan menutup seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, sedangkan aurat laki-laki hanya
pusar sampai lutut.
· Dalam
Kehidupan Berkeluarga
Laki-laki wajib menafkahkan hartanya
untukisteri dan keluarga, serta kelebihan-kelebihan lain yang Allh berikan
kepada laki-laki, maka islam memilih laki-laki (suami) sebagai pemimpin
keluarga (Q.S. al-Nisa’:34). Kelebihan lain yang di maksud disini adalah
laki-laki berada di bawah pertimbangan akal yang rasional dan pragmatis,
sedangkan perempuan berjalan dalam bimbingan perasaan (Shihab, 1998:210-211).
· Dalam
konteks kepemimpinan keluarga
Islam memandang isteri bukan hanya mitra
suami, melainkan juga sahabatnya. Artinya suami dan isteri harus saling
melengkapi satu sama lain (Q.S al-Baqarah:187).
c) Hak-hak
perempuan
Tentang hal ini, Quraish shihab menyebutkan
beberapa hak yang dimiliki oleh kaum peremuan menurut islam yakni:hak
politik,bekerja/profesi,dan belajar. Sedangkan M.Utsman al-Husyti menambahkan hak sipil,
hak berpendapat, dan hak pengajuan cerai.
Terkait dengan hak profesi, dapat di
kemukakan bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja selama pekerjaan itu atau
peempuan itu membutuhkannya,pekerjaan itu dapat di lakukan dalam suasana
terhormat dan tidak melanggar ajaran islam. Apabila sudah menikah maka harus
mendapat izin suami, dan dapat melaksanakan urusan keluarga.
2.
Menyikapi
Ayat dan Hadis Misoginis
Ayat dan hadis misoginis adalah hadis
dan tafsir al-Qur’an yang di pandang merendahkan dan meremehkan
perempuan.contoh ayat al-Qur’an yang merendakan perempuan adalah tafsir
terhadap Q.S. al-Nisa’:34 yang berbunyi:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahaian mereka (laki-laki) atas sebahagiaan yang lain (wanita),
dan Karena mereka (laki-laki)Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Ayat di atas ditafsirkan sebagai
laki-laki harus memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada perempuan dalam
segala bidang, dan perempuan di anggap tidak berhak untuk memimpin
(Sulaeman,2004).
2.3 Sejarah
Dan Ragam Feminisme
Menurut bahasa, kata
feminisme berasal dar bahasa latin, femina
yang berarti perempuan.Menurut Kamla Bhasin an Nighat Said Khan, dua orang
feminis dari Asia selatan, feminisme adalah “suatu kesadaran akan penindasan
dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam
keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah
keadaan tersebut”(Kamla dan Nighat,1995:5).
Dari pengertian di atas, dapat di
sebutkan tiga ciri feminisme,yaitu:sebuah gerakan atau doktrin yang: (a)
menyadari adanya ketidakadilan jender di masyarakat maupun di keluarga, antara
lain dalam bentuk penindasan dan pemerasan terhadap perempuan; (b) memaknai
jender bukan sebagai sifat kodrati melainkan sebagai hasil proses sosialisasi;
(c) memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
1.
Sejarah
Singkat Feminisme
Gerakan feminisme muncul di barat,
sejak zaman dahulu sampai awal abad modern,perempuan disamakan dengan budak dan
anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi gereja menuding
perempuan sebagai pembawa sial dan sumber malapetaka, penyebab kejatuhan Adam
dari surga. Akibatnya peran perempuan di batasi dalam lingkup rumah tangga
saja(Arif,2005).
Kata feminisme diperkenalkan
pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, CharlesFourier pada tahun 1837.
Sebagai sebuah gerakan yang di dorong oleh ideologi pencerahan (Aufklarung) yang menekankan pentingnya
peran rasio dalam mencapai kebenaran. Dalam revolusi perancis, para pemimpin
revolusi menegaskan hak-hak warga negara terhadap raja. Sayangnya revolusi yang
diiringi dengan semboyan liberty
(kebebasan), equality (persamaan), an
er(persaudaraan) ini tidak merubah
keadaan perempuan. Akibatnya sejumlah kelompok perempuan menuntut persamaan
dengan laki-laki di berbagai bidang. Gerakan ini berkembang sjak perancis
berubah menjadi republik.
Dari latar demikian, di eropa
berkembang gerakan untuk “menaikan derajat kaum perempuan”, tetapi gaungnya
kurang keras. Kemudian gerakan ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat di
sana sejak publikasi karya John Stuart Mill,
the subjection of women (1969).
Hal lain yang mendorong timbulnya
feminisme, menurut Murtadha Muthahari adalah kepentingan kapitalisme.
2.Lahiranya Feminisme Islam
Sebenarnya
kedatangan Islam pada abad ke-7 M membawa revolusi gender. Islam hadir sebagai
ideologi pembaharuan terhadap budaya-budaya yang menindas perempuan, merubah
status perempuan secara drastis. Tidak lagi sebagai second creation
(mahluk kedua setelah laki-laki) atau penyebab dosa. Justru Islam mengangkat
derajat perempuan sebagai sesama hamba Allah seperti halnya laki-laki.
Perempuan dalam Islam diakui hak-haknya sebagai manusia dan warga negara, dan
berperan aktif dalam berbagai sektor termasuk politik dan militer. Islam
mengembalikan fungsi perempuan yang juga sebagai khalifah fil ardl pengemban
amanah untuk mengelola alam semesta. Jadi dengan kata lain, gerakan emansipasi
perempuan dalam sejarah peradaban manusia sudah dipelopori oleh risalah yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw.
Islam adalah sistem kehidupan yang
mengantarkan manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan
tatanan global yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga
sebuah konsekuensi logis bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya laki-laki dan
perempuan memiliki missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki
kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran
akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan.
Dengan demikian, wanita dalam Islam
memiliki peran yang konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah
serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.
Gerakan feminis tidak akan pernah
berhasil jika tidak kembali mengacu pada ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah).
Gagasan-gagasan asing yang diimpor dari Barat yang bertentangan dengan
nilai-nilai Islam, hanya akan memperburuk kondisi perempuan dan mengantarkan ke
dalam jurang kehancuran yang lebih dalam.
Sehingga, pejuang gender hendaknya
kembali pada Quran dan Sunnah, sesungguhnya inilah jalan yang akan mengantarkan
kaum perempuan pada kemulyaan, yang akan mengantarkan masyarakat menuju
peradaban besar.
Kemuliaan perempuan dalam Islam
setidaknya bisa kita ketahui dengan bagaimana Islam menempatkan posisi seorang ibu.
Dalam Islam seorang anak yang mesti patuh pada kedua orang tuanya, namun
ketaatan kepada ibu harus didahulukan. Hadits yang populer yang juga dikutip
buku ini menyebutkan bahwa pelayanan terbaik seorang anak didahulukan kepada
ibunya tiga kali dibanding kepada ayahnya. Bahkan pada hadits lain disebutkan
bahwa surga terletak di telapak kaki ibu.
3.Ragam Feminisme
Perbedaan persepektif
tentang ketidakadilan jender terhadap perempuan di keluarga dan masyarakat
terhadap penindasan perempuan melahirkan empat aliran besar:
·
Feminisme Liberal
adalah aliran feminisme yang menuntut agar prempuan diberikan kesempatan yang
sama dengan laki-laki,karena merasa mempunyai kemampuan yang sama dengan
laki-laki, dan bahwa perempuan harus di berikan kebebasan untuk menentukan
nasibnya.
·
Feminisme Marxis
merupakan aliran yang berpendapat bahwa sumber ketertindasan perempuan adalah
sistem produksi dalam keluarga, dimana laki-laki bekerja dan menghasilkan uang,
sedang perempuan hanya bekerja di sektor rumah tangga yang tidak menghasilkan
uang.
·
Femnisme Radikal adalah
aliran feminisme yang berpandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi
akibat fisik perempuan yang lemah di hadapan laki-laki, dimana perempuan harus
mengalami haid, menopause, hamil, sakit saat haid dan melahirkan, menyusui,
mengasuh anak,dan sebagainya.
4.Feminis Muslim
Seperti
yang telah disampaikan sebelumnya bahwa kini isu feminisme mulai masuk ke
wilayah Islam. Banyak cendekiawan muslim yang melihatnya sebagai pendekatan
baru dalam studi Islam. Istilah feminis muslim mulai diperkenalkan dan
digunakan pada tahun 1990-an. Diantara tokoh yang pernah menggunakan istilah
tersebut adalah Afsaneh Najmabedeh dan Ziba Mir-Hosseini dari Tehran, Yesim
Arat dari Turki serta Mai Yamani dari Saudi melalui bukunya Feminisme and Islam yang diterbitkan
pada tahun 1996. Sedangkan Mesir yang dikatakan sebagai tempat terlahirnya
feminis muslim terkenal dengan tokohnya Huda Shaarawi yang mendirikan The Egyptian Feminis Union pada 1923.
Pada dasarnya asas dan pemikiran mereka sama dengan feminis Barat. Namun
demikian, tidak semua secara terbuka merasa nyaman menisbahkan atau mengaitkan
diri mereka dengan perjuangan feminis muslim.
Prioritas
misi kebanyakan kaum feminis muslim adalah merekonstruksi hukum-hukum agama
berkaitan dengan wanita khusunya hukum keluarga dengan menilai dan menganalisa
ulang teks agama, al-Quran dan al-Sunnah, serta menafsirkannya dari perspektif
yang berbeda dengan penafsiran klasik (ijtihad dan tafsir). Feminis muslim
mendakwa bahwa prinsip keadilan dan kesetaraan yang ditekankan oleh al-Quran
tidak terlaksana disebabkan para mufassirin yang umumnya pria telah
menghasilkan tafsir al-Quran yang mendukung doktrin yang mengangkat martabat
kaum pria dan menjustifikasi superioritas kaum pria. Feminis muslim juga
berpendapat bahwa terdapat bias gender
(footnote) yang kental dalam hukum-hukum syariah yang diambil dari
hadist-hadist Rasulullah SAW atas alasan perawi hadist yang terdiri dari
kalangan Sahabat adalah pria yang tidak dapat membebaskan diri dari pengaruh
amalan patriarki. Pada praktiknya feminis muslim justru bertindak antagonis
terhadap beberapa hukum dalam al-Quran yang berkaitan dengan wanita.
5.Kekeliruan
Feminis Muslim
Penyimpangan
pemikiran yang dilakukan oleh feminis muslim disebabkan adanya perbedaan cara
pandang. Bagi feminis, cara pandang mereka telah terwarnai oleh kaca mata
Barat, sehingga mereka memaknai Islam dengan cara yang berbeda. Semisalnya pada
contoh kasus yang sering mereka permasalahkan yakni masyarakat patriarki.
Menurut Hibah Rauf Izzat, konsep patriarki tidak dikenal dan tidak ada dalam
masyarakat Islam. Konsep ini sebenarnya diperkenalkan oleh penulis-penulis
Barat untuk menggambarkan masyarakat Islam tanpa memahami institusi keluarga
dan masyarakat dalam Islam. Istilah patriarki pada asalnya digunakan untuk
menggambarkan sistem kekuasaan bapak yang mutlak sifatnya terhadap anggota
keluarganya. Istilah ini juga berkaitan dengan istilah ‘familia’ yang dalam bahasa Latin bermakna ladang dan harta
pemilikan bagi seorang bapak. Dengan demikian konsep tersebut tidak sesuai
dinisbahkan kepada ajaran Islam dan hukum Islam.
Di
Barat, dalam perkembangannya, kaum feminis berusaha merombak metode penafsiran
Bible, mengingat penindasan perempuan di Barat merupakan akibat penerapan
doktrin-doktrin gereja yang bersumber dari Bible. Metode yang mereka gunakan
dikenal dengan metode hermeneutika.
Menurut kaum feminis muslim,
penafsiran teks al-Quran oleh para mufassirin telah terpengaruh oleh budaya
patriarki yang berkembang di lingkungan para mufassirin. Sehingga perlu adanya
metode penafsiran baru, penafsiran dengan cara yang sama seperti yang digunakan
para feminis di Barat dalam menafsirkan Bible. Namun tidak semudah itu, ada 2
hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:
1.
Validitas
dan kebenaran konsep ‘gender equality’
Masalah
konsep ‘gender equality’ yang digagas kaum feminis dalam masyarakat Islam ,
seperti Amina Wadud, Musdah Mulia dsb, saat ini sudah terbukti merupakan konsep
yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Mengingat latar belakang gerakan
feminis yang merupakan gerakan anti gereja di Barat dan ideology marxis yang
tidak menerima perbedaan fithri dan jasadiah antara pria dan wanita.
2.
Perbedaan
sifat antara teks al-Quran dan teks Bible
Dalam
keyakinan kaum muslimin, al-Quran, baik lafadz maupun maknanya, adalah dari
Allah swt. Tidak ada campur tangan manusia, termasuk dari Nabi Muhammad saw
sendiri. Karena Rasulullah saw senantiasa memisahkan, mana yang merupakan teks
al-Quran yang berasal dari wahyu, dan mana yang ucapan beliau sendiri (hadist
nabi). Dalam kondisi seperti ini, maka tidak memungkinkan adanya
kontekstualisasi.
Berbeda
dengan al-Quran, Bible memang ditulis oleh para penulis Bible, yang menurut
konsep Kristen, mendapat inspirasi dari tuhan. Meskipun demikian, diakui bahwa
unsur-unsur personal dan budaya berpengaruh terhadap para penulis Bible. Karena
yang dianggap merupakan wahyu tuhan adalah makna dan inspirasi dalam Bible, dan
bukan teks Bible itu sendiri, maka kaum Kristen tetap menganggap terjemahan
Bible dalam bahasa apa pun adalah firman tuhan.
Dengan karakter Bible semacam ini,
maka pengaplikasian hermeneutika untuk al-Quran senantiasa, baik secara terbuka
atau tidak, berusaha menempatkan posisi dan sifat teks al-Quran sebagaimana
halnya teks Bible. Bahwa teks al-Quran adalah teks budaya, teks yang sudah
memanusiawi dan sebagainya. Dengan menempatkan posisi teks al-Quran setara
dengan teks Bible, dan memasukkan unsur konteks budaya dan sosial dalam
penafsiran teks al-Quran, maka yang terjadi adalah pembuangan makna asal teks
itu sendiri.
Sebagai
contoh, larangan pernikahan wanita muslimah dengan pria non-muslim dalam QS
Mumtahanah:10, yang dengan tegas menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dating berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman,
maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Tetapi dengan pendekatan kontekstualisasi,
makna ayat tersebut bisa berubah. Aktifis gender dan pluralism agama, Musdah Mulia,
menulis tentang ayat ini:
“Jika kita memahami konteks waktu
turunnya ayat tersebut, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy
sangan memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan
antara kaum mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan
agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu
ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak
ada lagi, maka larangan yang dimaksud tercabut dengan sendirinya.”
Sepanjang sejarah Islam, banyak
kondisi dimana kaum muslim tidak berperang dengan kaum kafir. Bahkan selama
1200 tahun lebih, kaum Yahudi hidup damai di dalam wilayah Islam. Tetapi,
selama itu pula para ulama tidak pernah berpikir, bahwa QS 60:10 itu ada
kaitannya dengan peperangan, sehingga halal saja muslimah menikah dengan
laki-laki Yahudi, karena tidak ada peperangan antara Yahudi dengan muslim.
6.Jalan Tengah
Seperti
yang telah disebutkan diatas, bahwa di satu sisi ada sebagian umat muslim yang
bertindak overprotective atau biasa
dikenal golongan konservatif, sedangkan di sisi lain ada umat Islam yang
berpandangan secara liberal. Hal ini membuat kita seolah-olah berada diantara
dua titik ekstrim, dimana salah satunya berpikir secara tradisional dan yang
lainnya berpikir secara liberal. Akan tetapi, pada hakikatnya, dalam tradisi
Islam terdapat alternatif ketiga yang menjadi jalan tengah, yakni mereka
dikenal dengan sebutan golongan Islamis,
yang mengambil pendekatan sederhana dan seimbang antara dua pendekatan yang
bertentangan, yaitu konservatif dan liberal. Sebagai contoh, ketika Islam
menetapkan kewajiban hijab, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama,
baik wajah dan pergelangan tangan termasuk aurat wanita yang wajib ditutupi. Sementara
golongan konservatif juga memilih hukum yang kebih ketat, yaitu kewajiban
menutup seluruh muka dan tapak tangan untuk bersikap berhati-hati. Namun
demikian, pendapat golongan konservatif ini tidak disalahkan oleh golongan
Islamis.
Dalam
banyak perkara, pendekatan konservatif adalah bersifat protektif bahkan
terkadang dikatakan over protective, sehingga sebagian ulama Afganistan ketika
zaman pemerintahan Taliban tidak membenarkan kaum wanita mendapatkan haknya
dalam pendidikan. Sedangkan bagi golongan Islamis, pendidikan bukan saja
merupakan hak, akan tetapi ia adalah kewajiban bagi setiap muslim tanpa melihat
jenis kelamin. Oleh karena itu, pendapat seperti di atas hanyalah berdasarkan
ijtihad subjektif ulama, karena baik nash al-Quran maupun Hadist sama sekali
tidak memberikan justifikasi terhadap batasan hak wanita dalam pendidikan.
Meskipun golongan Islamis mengambil
jalan tengah dan sederhana yang berbeda dengan ulama tradisionalis, namun
golongan ini tetap mempertahankan pandangan Islam berkaitan dengan wanita
asalkan mempunyai dasar yang kuat, baik dari nash al-Quran maupun Sunnah. Dari segi metodologi, golongan Islamis
berpendapat bahwa ijtihad ulama silam khususnya yang berbentuk pandangan
pribadi tidak semestinya diterima pada hari ini. Sesuai dengan tuntutan Islam,
ilmuwan pada hari ini perlu senantiasa berijtihad dalam perkara-perkara yang
dibenarkan oleh shara’. Kecenderungan ulama untuk taqlid terhadap segala keputusan ulama silam menyebabkan agama
Islam dipandang tidak sesuai dan ketinggalam zaman.
Peranan Wanita Dalam Keluarga
Islam
memberikan persamaan antara pria dan wanita, prinsip ini diakui oleh seluruh
cendekiawan Islam serta sebagian golongan feminis, meskipun ada sebagian
feminis yang mengatakan Islam adalah sama dengan agama samawi lain yang misogynist (pembenci kaum wanita).
Konsep kesetaraan ini kemudian ditafsirkan dengan paradigma yang berbeda,
sehingga akhirnya berlakulah pertentangan diantara golongan Islamis dan
feminis. Bagi golongan feminis, persamaan semestinya bermaksud penyamarataan
atau kesamaan hak dalam semua bidang kehidupan yang digeluti oleh pria dan
wanita, termasuk dalam hal ibadah. Oleh karena itu, feminis menyerukan hak
wanita untuk menjadi imam dan khatib shalat jum’at, menjadi pemimpin tertinggi
(khalifah), mendapatkan hak yang sama rata dalam harta waris, dan hak
mentalakkan suami ?(melafazkan talak).
Adapun bagi golongan Islamis,
kesetaraan tidak semestinya bermakna penyamarataan. Dalam kaca mata Islam,
keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya sehingga perlu
mempertimbangkan kesesuaian, kelayakan, kesediaan dan fitrah dalam menempatkan
seseorang yang terbaik untuk tugas tertentu. Islam meletakkan nilai-nilai moral
di kedudukan yang sangat tinggi sehingga dapat dilihat nilai tersebut
mempengaruhi setiap peraturan dan ketentuan. Wanita diberikan peranan secara
khas dan eksklusif untuk membesarkan anak karena wanita diberikan keistimewaan
dan keunikan yang tidak dimiliki oleh kaum pria dari segi biologi-fisiologi,
mental dan emosi.
Melihat dari sisi yang positif,
kerjasama yang baik dari pria-wanita semestinya menghasilkan kesempurnaan dan
keharmonian. Berbanding jika pria-wanita memiliki keistimewaan yang sama, maka
keadaan seperti ini akan menghilangkan perasaan saling membutuhkan antara satu
sama lainnya. Selain itu, kepemimpinan yang dikehendaki dalam Islam adalah atas
dasar kasih saying dan kerja sama, bukanlah kepemimpinan satu arah.
Kepemimpinan Pria Terhadap Wanita
“kaum lelaki itu adalah pemimpin dan
pengawal yang bertanggung jawab terhadap kaum perempuan, oleh Karen Allah telah
melebihkan orang-orang lelaki (dengan beberapa keistimewaan atas orang-orang
perempuan, dan juga karena orang-orang lelaki telah membelanjakan (member
nafkah) sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan shaleh itu ialah
yang taat (kepada Allah dan suaminya) dan yang memelihara (kehormatan dirinya
dan apa jua yang wajib dipelihara) ketika suami tidak hadir bersama, dengan
pemeliharaan Allah dan pertolonganNya dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang
melakukan perbuatan durhaka (nusyuz) hendaklah kamu menasihati mereka, dan
(jika mereka tetap bersikukuh) pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
(kalau juga masih membandel) pukullah mereka (dengan pukulan ringan yang
bertujuan mengajarnya); kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa:34)
Para
ulama dan mufassirin telah menafsirkan perkataan qawāmah dengan tafsiran yang berbeda. Al-Tabari menafsirkan kalimat
tersebut sebagai pelaksana tugas (nāfidhī
al-amr) dan pelindung. Ibn Kathir
mengatakan qawāmah bermakna lelaki
adalah ketua dan pembesar rumah tangga karena lelaki lebih baik dari wanita.
Dalam tafsir al-Jalalain pula maksud qawwāmūn
ialah lelaki sebagai musallitūn (penguasa).
Walaupun penafsiran dua ulama terakhir di atas mungkin tampak bias jender,
namun penafsiran ulama lain juga perlu dipertimbangkan. Ulama kontemporer
seperti Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi pula berpendapat bahwa al-qawāmah sama sekali tidak bermakna tamlik dan tafdil (pemilikan dan diskriminasi/kelebihan). Sayyid Qutb dalam
tafsirnya menulis, yang dimaksudkan dalam qawāmah
bukan semata-mata pemimpin, tetapi adalah orang yang dibebankan dengan tadbir al-ma’ash (pengurusan
kehidupan/penghidupan). Bagi Yusuf Qaradawi pula, qawāmah ini perlu dipahami dengan gandengannya yaitu al-mas’uliyyah yakni tanggung jawab dan
amanah. Oleh Karena itu jelaslah bahwa dalam kacamata Islam kepemimpinan
bukanlah satu kemuliaan dan kelebihan melainkan satu tanggung jawab dan beban yang
berat. Ini tentunya berbeda dengan konsep kepemimpinan dari perspektif Barat
yang telah memisahkan kuasa dengan moralitas.
Jika dilihat dan dikaji lebih
teliti, sebenarnya terdapat kesatuan pendapat dalam perbedaan penafsiran
terhadap perkataan qawāmah. Secara
dasarnya, para ulama setuju bahwa tugas pria adalah mengarahkan dan memberikan
perlindungan begi wanita. Pemahaman ini tidak dapat dielakkan karena ia jelas
dalam pesan keseluruhan ayat tersebut. Golongan Islamis seperti Yusuf
al-Qaradawi, Sayyid Qutb dan Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi mempertahankan
tafsiran ulama-ulama terdahulu bahwa ayat tersebut meletakkan pria sebagai
pemimpin dalam rumah tangga.
Al-Quran telah menetapkan tugas yang
seimbang bagi pria dan wanita. Tugas ini diberikan sesuai dengan fitrah dan
kemampuan masing-masing, berdasarkan fitrah alami wanita yang berbeda dengan
pria. Oleh karena itu, bukanlah kerendahan bagi wanita dan kelebihan bagi pria,
akan tetapi memang fitrah semula-lah bagi keduanya yang menjadi pertimbangan
agar segala tugas dapat diemban dengan baik.
2.4 Pandangan
Islam Terhadap Feminisme
Dalam pandangan islam, ide dasar dan
utama yang di perjuangkan oleh feminisme berupa kesetaraan kedudukan dan hak
antara perempuan dengan laki-laki adalah semua yang tidak benar dan menyalahi
kodrat kemanusiaan.
Allah SWT menciptakan laki-laki dan
perempuan dengan kondisi fisik, biologis, dan psikologis yang berbeda.
Perbedaan ini yang menimbulkan fungsi yang berbeda pada diri mereka
masing-masing. Oleh karena itu sangat bijaksana saat Allah SWT membedakan hak
dan kewajiban mereka.
Perkembangan ilmu pengetahuan,
terutama ilmu kedokteran dan fisiologi bahkan mencatat perbedaan kduanya dengan
sangat nyata. Perbedaan fisik dan biologis menimbulkan watak yang berbeda,
sehingga timbullah watak keperempuanan, seperti: cenderung perasa, impulsif
(cepat merespon), sensitif, dan watak kelaki-lakian.
Adapun isu penindasan terhadap
perempuan oleh laki-laki yang menjadi titik awal menculnya feminisme harus di
akui memang terjadi di berbagai tempat sejak dulu hingga kini, baik di wilayah
masyarakat muslim maupun non muslim.
Terkait tugas dan peran perempuan
dalam rumah tangga yang lebih banyak berada di rumah, sebaiknya tidak di
pandang dari sisi kesetaraan jender. Tolak ukur kemuliaan ari keduanya adalah
dari ketakwaan yang di ukur secara kualitatif, yaitu sebaik apa - bukan
sebanyak apa –seseorang bertakwa kepada Allah SWT (Q.S. al-Hujurat:13 dan
al-Mulk:2).
Terkait dengan perbedaan peran, dalam
Q.S al-Nisa’:32, Allah SWT mengingatkan dan menyadarkan laki-laki dan perempuan
yang berbunyi:
“janganlah
kamu iri hati terhadap apa yang di karuniakan Allah kepada sebagian kamu lebih
banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang
mereka peroleh (usahakan), dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang
mereka peroleh (usahakan. Bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetaui segala sesuatu”.
Kritik Faktual Terhadap
Feminisme
Terlepas dari pro dan kontra,
gerakan feminisme di akui telah membawa banyak perubahan positif pada kondisi
perempuan. Banyak undang-undang di berbagai negara yang lebih mendukung
perempuan. Namun, dibalik kemajua ini muncul berbagai sisi negatif yang di
timbulkannya. Contohnya isu pemiskinan perempuan dan tingginya angka perceraian
(Anshori dan Kosasih (ed), 1997:171).
Selain itu, terdapat sejumlah kritik yang ditujukan pada feminisme.
Berbagai eksperimen membuktikan
bahwa pria dan perempuan sama mengalami kegagalan. Conohnya, ketika pada tahun
1997 pemerintah inggris memberlakukan “pendekatan tanpa memandang jenis
kelamin” dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan ujian fisik yang sama
kepada kadet pria dan wanita, maka yang terjadi adalah tingkat cidera yang
tinggi dikalangan kadet wanita (soekanto, 2006).
Eksperimen penerapan persamaan
laki-laki dan perempuan juga di lakukan di negara-negara seperti Skandinavia,
Norwegia, Denmark, dan di Swedia. Di Norwegia pada tahun 1969, perempuan yang
bekerja yang memiliki anak kecil meningkat menjadi 60%, sedangkan di Denmark
pada tahun 1985 anak usia di bawah 6 tahun yang di asuh ibunya hanya 5%.
Kebijakan ini berdampak besar pada runtuhnya keluarga. Masalah-masalah alkohol,
obat bius, dan ktivitas kekerasan yang melibatkan anak-anak meningkat 400%
dalam kurun waktu 1970-1980.
Demikianlah berbagai bukti dan
kritik yang menunjukkan bahwa feminisme bukan pilihan yang bijak dan benar
untuk memajukan dan mengangkat martabat perempuan. Meskipun begitu, umat islam
perlu mengambil sisi positif mulculnya feminime. Islam adalah agama yang
sempurna, yang didalamnya terdapat konsep yang utuh tentang perempuan. Menjadi
tugas penting umat islam untuk memahami konsep yang benar tentang perempuan
menurut islam, dan menerapkannya dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Dengan demikian umat islam perlu “melirik” ideologi lain guna memecahkan
masalah perempuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan
bahwa Feminisme sebenarnya sudah ada sejak dua abad yang lalu jauh sebelum
orang-orang Barat mengenal feminisme. Tapi penggunaan istilah feminisme pertama
kali dipopulerkan di barat. Feminisme adalah suatu bentuk pengakuan atas posisi
perempuan di masyarakat yang disejajarkan dengan kaum pria dengan tidak hanya
melihat perbedaan jenis kelamin saja. Feminisme juga tidak hanya di barat saja,
tetapi juga sudah merambah masuk ke dunia Islam. Menurut feminis muslim
menganggap bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan, otomatis menyebabkan
kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan perempuan. Dan dalam Islam sendiri dikatakan bahwa Islam
memandang laki-laki dan perempaun secara setara juga, dan bahwa Allah secara
umum memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Tetapi dalam realitanya, banyak feminis Islam yang lebih mengutaman logika dari
pada ajaran agama dalam menyikapi suatu persoalan.
Kemuliaan perempuan dalam Islam
setidaknya bisa kita ketahui dengan bagaimana Islam menempatkan posisi seorang
ibu. Dalam Islam seorang anak yang mesti patuh pada kedua orang tuanya, namun
ketaatan kepada ibu harus didahulukan. Hadits yang populer yang juga dikutip
buku ini menyebutkan bahwa pelayanan terbaik seorang anak didahulukan kepada
ibunya tiga kali dibanding kepada ayahnya. Bahkan pada hadits lain disebutkan
bahwa surga terletak di telapak kaki ibu.
DAFTAR
RUJUKAN
1 komentar:
terimakasih atas informasinya..
Posting Komentar